Nilai-nilai budaya
sebagai indentitas Orang Asli Papua yang
Orang Asli Papua sudah miliki dan selalu di hormati itu menunjukkan kepada
dunia, bahwa Orang Asli Papua masih hidup dan memiliki nilai-nilai budaya yang
sangat tinggi serta untuk merebut
kembali keadilan berekspresi melalui nilai-nilai budaya Orang Asli Papua yang
mana sebagai bagian terpenting dalam kerja-kerja konsolidasi adat untuk
membangun ideologi Orang Asli Papua di Tanah Papua untuk merebut kembali apa
yang pernah di miliki oleh Orang Asli Papua dan Tanah Papua yaitu tentang
Sejarah Kebenaran dan Keadilan dengan membangun gerakan melalui nilai-nilai
budaya yang sudah ada dalam hidup dan kehidupan Orang Asli Papua di Tanah Papua
secara turun-temurun yang mana sekarang sedang dan selalu berusaha oleh negara
penjajah indonesia untuk memusnahkan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua di
Tanah Papua yang Orang Asli Papua sudah miliki.
Saat ini tekanan
Kapitalisme, Imperalisme dan Militerisme yang berkepanjangan selalu memberikan
pengaruh dan dampak negatif yang sangat besar terhadap kehidupan dan
perkembangan nilai-nilai budaya di tengah Orang Asli Papua di Tanah Papua.
Nilai-nilai budaya
sebagai indentitas Orang Asli Papua
sedang di lumpuhkan oleh kebijakan negara penjajah indonesia yang sentralistik
dengan budaya berwawasan alias jawa sentris maka perluh dikembangkan lagi agar nilai-nilai budaya tidak hilang.
Disisi pendidikan
seperti Ruben Gwijangge memberikan contoh nyata dalam bukunya Socratez Sofyan
Yoman. Ada pelajaran yang di ajarkan di sekolah-sekolah dasar kelas satu sampai
kelas tiga di seluruh Tanah Papua dalam membangun wawasan jawa sentris seperti:
“
Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi, Ini Kakak Budi’ Wati Kakak Budi, Budi Pergi ke
sawah, ada Jalan Yos Sudarso, Jalan Dr Sam Ratulanggi, Jalan Patimurra, Jalan
Ahmat Yani, Jalan Merdeka, Jalan Tamrin, Gunung Trikora, Stadion Mandala dll.
Ini semua menurut Ruben adalah palsu karena ini dilaksanakan oleh negara
penjajah Indonesia dalam rangka menghancurkan, menghilangkan, memusnahkan semua
yang sudah di milik oleh Orang Asli Papua.
Di lihat dari sudut
pandang pola pengajaran seperti diatas ini memang sangat mengindonesiakan para pelajar
di Tanah Papua karena metode mengajarnya, kurikulum, buku-buku panduan yang di
terapkan di setiap sekolah yang ada di Tanah Papua tanpa memperdulikan konteks nilai-nilai
budaya dan latar belakang sejarah Tanah Papua yang sudah ada di Tanah Papua dan
karena ilmu-ilmu yang selalu di ajarkan di sekolah yang ada di tanah Papua
sifatnya dalam konteks keindonesiaan. Melihat dari latar belakang pola pengajaran
juga pada umumnya di cetak sesuai dengan format dan fotocopy yang berlaku umum
di negara penjajah indonesia, yang mana tanpa melihat dan peduli terhadap
nilai-nilai budaya Tanah Papua, seperti bahasa lokal, nama adat, dan nama Tanah
yang harus di hormati itu tidak di terapkan di tengah-tengah kalangan pelajar yang
sedang menempuh ilmu di dunia pendidikan yang ada di Tanah Papua.
Sejak dari para leluhur
Tanah Papua, tete nene moyang berada di Tanah Papua hingga saat ini tidak ada nama orang yang stilahnya budi,
wati dll yang arahnya ke nama-nama yang mengindonesiakan Orang Asli Papua,
sebab nama Orang Asli Papua yang ada itu namanya bersangkutan dengan
nilai-nilai budaya Tanah Papua (Kekristenan) dan tidak ada pula nama sawah di
Tanah Papua yang ada hanya nama kebun sagu, kebun ubi, kebun petatas, kebun
buah-buahan lagipula tidak ada nama jalan yang namanya jalan Pattimura, Jalan
Ahmat Yani, karena dalam menamai jalan itu orang Papua punya cara tertentu
seperti jalan cendrawasi, jalan nabire,
jalan jayapura, jalan wamena, jalan sorong, jalan mambruk, jalan merauke atau
nama jalannya berupa nama para pejuang Tanah Papua nah nama-nama jalan seperti
inikan wajar di pakai oleh Orang Asli Papua karena nama-nama jalan tersebut letaknya
di Tanah Papua bukan di tanah melayu, disisi lain seperti nama lapangan juga
stadion mandala nama ini tidak wajar juga kalau lapangannya ada di Tanah Papua
lebih bagusnya nama itu diganti contohnya nama lapangan menjadi stadion Cendrawasi
Papua itukan wajar sebab lapangannya
terletak di Tanah Papua juga bukan di melayu sehingga pakai nama mandala dan
lain-lain itu semua setelah negara penjajah indonesia masuk merampas Tanah
Papua dan setelah para perampas, para klonial, para kapitalisme, para penjajah,
para imperialisme, para militerisme indonesia menduduki dan menguasai tanah
Papua itu baru nama-nama itu ada dengan maksud negara penjajah indonesia,
mengindonesiakan Orang Asli Papua dengan harapan memusnahkan nilai-nilai budaya
yang sudah dimiliki secara turun-temurun dan selalu di hormati oleh Orang Asli
Papua sendiri.
Ditanah melayu (jawa)
tak pernah ada nama Jalan Cendrawasi, Jalan Koteka, Jalan Moge, Jalan Mambruk,
Jalan Merauke, Jalan Fak-fak, Jalan Sorong, Jalan Jayapura, Jalan Wamena, Jalan
Nabire dll sejak negara penjajah indonesia bebas dari negara jajahannya yaitu
Belanda hingga sampai pada dewasa ini tetapi di Tanah Papua nama-nama yang
mengindonesiakan itu negara penjajah indonesia sedang berusaha menerapkan dengan
cara yang halus dan licik untuk menghapus dan memusnahkan nilai-nilai budaya
Orang Asli Papua yang selalu di hormati oleh Orang Asli Papua, maka itu mulai
dari hari ini kedepannya di Tanah Papua harus memberi nama jalan dll dalam hal
apa saja itu harus memberi namanya berangkat dari bahasa lokal, nama adat, dan
nama Tanah yang sudah ada dan sudah dimiliki oleh Orang Asli Papua untuk
mempertahankan nilai-nilai budaya Orang Asli Papua yang sedang dihapus oleh
negara penjajah indonesia secara satu per satu yang ujung-ujung nanti memusnahkan
nilai-nilai budaya Orang Asli Papua demi kekuasaan para kapitalisme,
imperialisme dan militerisme indonesia diatas Tanah Papua secara utuh.
Kemudian mulai Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi di Tanah Papua tidak pernah mengajarkan nilai-nilai
budaya dan sejarah masyarakat Tanah Papua kecuali bagimana provinsi tersebut di
bebaskan dari Belanda. Dalam pendidikan di Tanah Papua Orang Asli Papua ditekan
untuk mempelajari nilai-nilai budaya dan sejarah utama penjajah indonesia saat
ini, khususnya yang berasal dari melayu (Jawa) seperti sejarah kemerdekaan
indonesia, UUD 1945, lagu indonesia raya yang di nyanyikan di kelas dan murid-murid
yang melakukan upacara di bawah bendera negara klonial, dan dalam itu kesetiaan
terhadap 5 butir dasar negara, Pancasila terus para pahlawan Nasional negara
penjajah indonesia seperti Imam Bonjol, Hassanuddin, Pattimura, sejarah
perjuangan negara penjajah indonesia dalam mengusir Belanda dan lain-lain
padahal ini tidak perluh di ajarkan di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua sebab
Orang Asli Papua punya sejarah dan nilai-nilai budaya bukan mengenai hal-hal di
atas ini tetapi Orang Asli Papua punya nilai-nilai budaya dan sejarah
tersendiri yang jauh beda dengan negara penjajah indonesia (melayu).
Sejarah dan nilai-nilai
budaya negara penjajah indonesia ini kalau di ajarkan serta diterapkan terus-menerus
di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua maka jelas pelajar dan mahasiswa/I
Papua dipastikan akan lupah dengan
sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua yang sebetulnya, sejarah dan
nilai-nilai budaya aslinya yang sudah ada, yang sudah Orang Asli Papua miliki
secara turun-temurun dari para leluhur serta yang selalu di hormati dalam hidup
dan kehidupan Orang Asli Papua dari masa ke masa di Tanah Papua, maka
kedepannya diperkirakan sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua akan punah
karena selama ini tidak pernah di ajarkan di sekolah-sekolah yang ada di Tanah
Papua seperti pada saat ini ada kalangan-kalangan tertentu yang karena wawasan
mereka sudah di mengindonesiakan oleh orang-orang dari negara penjajah indonesia
dengan wawasan jawa sentris melalui penerapan sejarah dan nilai-nilai budaya
jawa di Tanah Papua dalam dunia pendidikan sehingga terkadang kebanyakan yang
berpikir sejarah dan nilai-nilai budaya Tanah Papua tak ada dan sejarah dan
nilai-nilai budaya yang ada adalah
sejarah dan nilai-nilai budaya indonesia padahal sejarah dan nilai-nilai budaya
Tanah Papua yang selalu di hormati itu
ada sejak dulu hingga sampai pada saat ini. Akhirnya kebanyakan orang yang
menyangkal dengan sejarah dan nilai-nilai budaya yang para leluhur Tanah Papua
sudah turunkan untuk dimiliki dan dihormat oleh generasi penerus Bangsa Papua.
Dalam menempuh ilmu di
Tanah Papua seharusnya dalam mendidik generasi muda Tanah Papua dalam belajar
mulai dari sekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang wajib diajarkan
dan perluh jadikan salah satu mata pelajaran/ mata kuliah itu tentang nilai-nilai
budaya dan sejarah Tanah Papua, Sejarah 1 Desember 1996, proses PEPERA 1969,
Sejarah Perjuangan Tanah Papua serta pembunuhan oleh TNI/Polri Indonesia terhadap
para pejuang Tanah Papua demi perjuangan
Tanah Papua menuju Penentuan Nasib Sendiri seperti They Hilo Eluay, Arnol
Clemens Ap dalam group mambesak Mako Tabuni, Umeki Kelly Kwalik yang sudah
mendahului dari seluruh Oang Asli Papua, lagu kebangsaan Tanah Papua.
Diatas ini sangat
penting sehingga perluh di ajarkan dan diterapkan di sekolah-sekolah yang ada
di Tanah Papua jangan sampai kita luput dari sejarah dan nilai-nilai budaya
kita sebagai Orang Asli Papua karena dalam sejarah Tanah Papua, sejarah
perjuang Orang Asli Papua diatas ini kita akan temukan nilai-nilai budaya kita sebagai
identitas Orang Asli Papua yang sebetulnya, yang sudah ada, selalu ada dan yang
nantinya akan ada terus.
Di sisi lain dalam
bidang bahasa saat berkomunikasi yang sempat singgung oleh salah satu aktivis
Papua Edmon Douw di facebook melalui status disana dia menulis bahwa kebanyakan anak-anak
muda yang biasa takut salah dalam memakai kata-kata bahasa indonesia dalam
ucapan, berbicara, berdiskusi, berpidato di depan forum dan dalam membangun
hubungan komunikasi lewat media cetak maupun media elektronik dengan
teman-teman dan dalam berbicara kalau temannya salah dalam ucapan kata
terkadang teman yang mendengarnya itu dia jadikan bahan diskusi atau cerita
bersama teman-teman yang lainnya tentang
ucapan kata yang salah tadinya itu dan
disana temannya katakan teman ini bahasa indonesianya masih kaki kepala
sehingga teman yang berbicara itu setelah mendengarnya tertimbul dalam benaknya
rasa takut dan malu untuk berbicara bersama teman yang sama di lain waktu
tetapi kata, Edmon Douw “bagi saya itu wajar apabila saya salah dalam
ucapan kata, berbicara, berdiskusi, berpidato dan dalam membangun hubungan
komunikasi lewat media cetak maupun media elektronik melalui bahasa indonesia karena
bahasa indonesia adalah bukan bahasa Mama saya yaitu Mama Papua, bukan bahasa
lokal,bukan bahasa saya yang sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di
Tanah Papua yang mana sebagai nilai-nilai budaya Orang Asli Papua oleh sebab itu bahasa indonesia
adalah bahasa melayu (jawa) dorang pu bahasa jadi tidak perluh maka wajar saja
untuk saya salah karena saya punya bahasa sendiri di Tanah Papua sebagai identitas
Orang Asli Papua itu ada”.
Selamatkan Nilai-nilai budaya sebagai identitas
Orang Asli Papua